Wednesday, September 5, 2007

Pak Abdul Jalil

Chapter 2
Sudah seharian aku di pos ini tapi pelanggan sepi sekali. Apa yang harus aku jadikan alasan untuk pertanyaan Pon. Duh Gusti sampai kapan negaraku ini kacau balau balau..balau. Pak Handoyo yang biasa langganan ojek setiap berangkat dan pulang dari sekolah SD yang dikepalainya sekarang memilih naek angkdes, lagi ngirit begitu katanya setiap kali kutawarkan jasa. Bantuan Dana untuk sekolah terpecil tidak membuat lelaki tua itu tergoda. Meskipun terbilang angkanya cukup besar, dia tidak berniat membeli mobil atau sepeda motor sekalipun. Yang membuat heran justru angka itu menggoda orang-orang berseragam untuk sering berkunjung kerumahnya, entah dengan maksud apa. Yang jelas dana itu dikucurkan langsung dari pemerintah pusat ke setiap sekolah, jadi tidak melalui kadinas - kadinas terkait. Kebijakan pemerintah itu berakibat langsung ka Pak Handoyo. Istrinya lebih sering membeli gula dan teh untuk tamu berseragamnya. Pengeluaranya jelas bertambah. Sepertinya pemerintah sedang tegas mengganyang koruptor, tapi ditingkatan paling bawah, koruptor lebih ganas lagi mengganyang. Kacau balau, seperti rambut Pon setiap bangun tidur.
"Assalamualaikum warohmatullah wabarokhah... " seorang laki-laki setengah baya berpakaian seadanya sedikit kusut memberi salam dengan sopan, seperti kebanyakan orang dari 'wetan'.
"Waalaikum salamm ... " Karena tak ada lagi orang lain di Pos Ojek, aku jawab salam itu.
"Ohh bapak.. gimana pak jadi nyari kontrakannya ?"
"Iya, bisa minta tolong diantar sekarang mas ?" tanyanya sopan.
"Mari - mari pak. Tolong helmetnya dikenakan ya pak.." Aku segerakan menyilakan dia naik motor bebekku.
"Ada ga mas rumah yang ingin di kontrakkan?"
"Ada sih ada pak, cuma nanti nanya saja langsung ke pemiliknya. Sebenarnya rumahnya mau dijual tapi karena ga laku laku, jadi di kontrakkan." Setengah berteriak aku mengalahkan suara deru motor.
"Ya sudah kita kesana, tolong nanti saya dibantu ya mas"
"Beres pak !"
Kalau dilihat dari cara bicaranya, bapak ini sepertinya orang terpelajar. Tapi cara berpakainnya sangat sederhana. Aku sempat ragu saat membuat janji dengannya, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengantarnya. Kesopanan dan cara bicaranya mengalahkan keraguanku. Menjadi tukang ojek jaman sekarang memang harus hati-hati, tidak pernah kusangkal pesan Pon setiap pagi. Setiap pelanggan baru ataupun lama harus selalu diwaspadai. Aku memilih jalan lebar memutari kampung, karena jalan itu lebih sering dilewati orang.
Tak berapa jauh kami memasuki pekarangan rumah Pak Kuwu. Aku bermaksud menyampaikan maksud pelangganku ini, sekalian melapor. Dan kebetulan juga memang rumah yang aku maksud adalah rumah orang tuanya Pak Kuwu.
Sambutan hangat diberikan kepada Pak Abdul Jalil oleh Pak Kuwu. Namanya baru aku ketahui setelah percakapan kami bertiga. Pak Abdul Jalil sepertinya tidak memiliki waktu untuk berlama-lama, beliau segera berpamit ketika dirasa cukup dan minta diantarkan ke rumah yang akan ia sewa.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjangkau rumah Mbah Rusli. Rumahnya yang megah menggambarkan kejayaan masalalunya. Bagaimana tidak hampir seluruh perkebunan teh yang sekarang berubah menjadi villa dan motel untuk orang kota dulunya dimiliki Mbah Rusli secara turun temurun. Aku dapati Mbah Rusli sdang ngaso di teras samping rumahnya, wah kebetulan beliau ada.
"Assalamualaikumm.."
"Waalaikum salam .."
Segera aku sambut tanganya untuk memberi sungkem hangat. Pak Abdul segera mengikuti berjabat tangan dengan beliau.
"Ada angin apa sore-sore kemari ?" Mbah Rusli mengutarakan rasa penasarannya sambil menyilakan kami duduk di dipan bambu satunya.
"Sebelumnya perkenalkan, ini namanya Pak Abdul Jalil. Beliau berniat untuk menyewa rumah Mbah yang di pinggir desa. Katanya mau di kontrakkan Mbah ?"
"Ohh iya iya, begitu mari. Memangnya nak Abdul sudah melihat rumahnya ? rumah itu sudah lama tidak diurus, sebenarnya niatnya mau dijual" beliau berhenti sejenak untuk menghisap tembakau lintingnya.
"Kalau mau sekalian saja dibeli, tidak minta banyak ko.."
"Maaf pak, sebenarnya saya tinggal sifatnya hanya sementara. Tapi jika memang nanti saya tinggali cocok kenapa tidak. Mungkin bisa saya beli Pak."
Begitulah kami teruskan pembicaraan itu sampai hampir menjelang maghrib, kemudian Pak Abdul melanjutkan untuk melihat lokasi rumah. Sepertinya dia tidak berkeberatan tinggal dirumah sederhana itu, terkesan memang dia sedang buru-buru untuk menempati rumah tersebut. Bahkan dia berencana besok akan segera membersihkan rumah dan segera pula dia akan tempati. Pak Abdul meminta saya untuk bantu-bantu bersihkan rumah sewa itu. Dengan imbalan yang dia janjikan tanpa ragu akupun mengiyakannya. Hari ini saja aku diberi ongkos ojek lebih. Seratus ribu untuk jasa ojek saja memang berlebih, tapi kemudian aku merasa pantas dengan jasa mencarikan rumah kontrakan dengan sukses.
Tidak ada yang mengkhawatirkan aku mengenai laki-laki pendatang baru itu meskipun Pon memperingatkanku agar hati-hati.

bersambung...

No comments:

Post a Comment