Thursday, February 7, 2008

Kakek bilang ...

Adalah sifat manusia memiliki rasa dendam..aku mengubur dalam-dalam dendamku, sedalam hiu bergolak di dasaran samudra. Tak goyah air di permukaanya, tak ada yang tahu hiu kelaparan disana.

tanpa banyak bicara orang tua renta itu menggandeng tanganku keluar dari ruang sesak penuh tangis isak itu. Disuruhnya aku meletakkan tas srempang yang sedari tadi tak kusadari masih dipinggang. Diajaknya aku ke surau di kampung sebelah. Dari rumahnya ada jalan setapak melewati samping rumahnya menuju surau itu. Dari belakang rumahnya aku harus melalui pematang yang mamisahkan dua petak sawah, sebelum akhirnya aku mencapai surau di tepiannya. Orang tua renta itu mengajakku mengambil air wudhlu dan berjamaah asar bersama. Belum sore benar ketika itu, matahari masih bertahan jingga sebelum beradu di kaki langit hamparan sawah berpadi hijau.
Tak banyak dia bicara tapi orang tua renta itu, membiaskan sesuatu dari matanya. Seolah dia mengerti kebingungan cucunya ini. Kami hanya duduk di teras surau, ketika burung-burung mulai kembali kesarangnya, kelelawar mulai tampak beterbangan, dan capung-capung sepertinya sudah terbang terbawa angin entah kemana. Jingga matahari yang tadinya terang perlahan redup menjadi abu-abu, sore itu kurasakan lama benar. Kata-kata orang tua itu begitu sesak menghimpit rongga dada, kurasakan panas seperti ingin meledak tumpah beruah-ruah.
Tadi pagi setelah aku berangkat, rupanya Putri nangis karena tidak boleh bonceng sepedaku. Anak kecil usia 6 tahun itu kalo minta sesuatu memang harus dituruti. Sering kali aku menggendongnya pulang-pergi saat mandi di sendang pagi dan sore, daripada dia nangis. Biar begitu aku menyayanginya seperti adikku sendiri.
Bujukkan bapakku tidak juga membuatnya diam, malah menjadi-jadi tangisnya. Kemudian bapakku menjanjikan untuk membeli sepeda kalo pagi ini mau berangkat bareng naik vespa. Meski masih terisak, tapi putri Mau untuk ikut berangkat sekolah bareng pakdenya.
Kakek berhenti sejenak, dinyalakannya rokok lintinganya itu.... sementara aku hanya diam menerawang jauh diantara awan abu-abu. Dadaku semakin sesak ...
Jika memang suatu takdir telah ditetapkan maka semua terjadi seperti telah diatur sebelumnya.
Pagi yang basah itu memaksa bapakku memilih jalan memutar untuk berangkat mengajar ke kota, bukan jalan yang kupilih dengan sepeda baruku itu. Dia lebih kepada menghindari tanah-tanah basah yang memang mengganggu laju roda. Jalan itu memutar melewati rumah paman dan bibi adik dari ibuku yang juga orang tua Putri. Pagi itu Putri masih kelihatan menangis saat melewati rumah orang tuanya. Ketika ayahnya melihat, dia menghentikan Vespa bapakku dan mananyainya apa yang terjadi.
Bapakku menjelaskan sejelas-jelasnya untuk orang yang memiliki otak udang seperti paman itu. Tahu jika lawan bicaranya adalah orang yang memiliki temperamen tinggi dan mudah tersinggung. Tapi jika memang otak udang yang bicara, bukannya berterima kasih malah tersinggung. Dia tidak mau disepelekan orang begitu saja, dia bisa membelikan sepeda yang lebih bagus dari punyaku. Pertengkaran kecil antara bapakku dan adik iparnya diakhiri dengan mengalahnya bapakku dan meninggalkan Putri bersama ayahnya, meskipun sebenarnya Putri ingin ikut pakdenya untuk membeli sepeda baru. Selepas meninggalkan Putri bapak tidak meneruskan berangkat kerja firasatnya mengatakan untuk memutar Vespa dan pulang, sesampainya di rumah diceritakan semua kejadian itu pada kakekku ini.
Mengetahui watak manantunya yang memang memiliki bakat bejat, suka main judi dan minuman keras, kakek bergegas menyusul Putri ke rumahnya.
Sampai disini kakek berhenti agak lama, dihisapnya dalam-dalam kretek yang tinggal dua ruas jari itu.. pikiranku tak karuan saat itu...dadaku semakin tambah sesak...berkas sinar matahari diantara awan-awan tajam seperti mata pedang..menusuk nusuk angkasa..membelah ruang dada sampai tak terperi. Pedih betul saat itu aku membayangkan tamparan tangan kasar yang diterima Putri di pipi kecilnya yang halus. Bagaimana lagi dia akan menangis jika berteriakpun percuma...

Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Setibanya Kakek dirumah Putri, didapatinya putri dipelukan ibunya, diam menagispun tidak. Putri pingsan setelah dihajar ayahnya! begitu dugaanku. Kakek sendiri pun tidak tahu yang sebenar-benarnya terjadi. Yang dia tahu saat itu adalah secepatnya membawa Putri ke Pak Mantri di dekat kalurahan. Dari sana tidak ada yang menyangka jika pak mantri bilang Putri harus segera di bawa kerumah sakit. Hingga belum sempat pak mantri sampai ke rumah sakit Putri akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Mata kakek tua itu berair sembab ketika kutatap dalam-dalam. Ingin kucari satu saja kebohongan dari ceritanya itu. Sepertinya saat itu langit runtuh ke mukaku mata yang tidak berdaya itu tak mampu menunjukkan kebohongan yang aku tunggu-tunggu. Untuk apa dia reka-reka itu semua?
Aku masih berharap menemukan kebohongan di tempat lain. Segera aku berlari ke rumah, mencari dan mencari dimana bapakku itu. Kudapati dia, kutarik dia, kupaksa dia menyalakan vespanya aku cari Putri sedapatnya ... sampai aku menyadari semua sia-sia. Tidak percaya pada kenyataan adalah mengingkari imanku kepada-Nya.
Kutemukan lagi diriku disamping bocah terbujur kaku, berkafan putih. Betapa seluruh cinta dan pengorbanan yang aku tahu saat itu aku berikan untuknya. Karena aku tau tiada bahagia hidupnya kecuali saat-saat bersamaku. Semua kejadian kembali terlintas saat bersamanya. Gadis kecil itu berarti banyak untukku. Kepada siapa lagi aku berkorban nanti.. _______________________________________________________________