Aku mencatat sebuah peristiwa nyata yang terdengar bak dongeng di sebuah negeri yang anakku pasti bertanya dimana ? jika aku menceritakan kepadanya. Tentang seorang raja yang lalim, rakus, serakah dan semena-mena terhadap rakyatnya. Pada umumnya sebuah dongeng , seorang kesatria menjadi pelengkap cerita. Adalah Wiji Thukul... kesatria yang kucatat dalam peristiwaku. 2 kali pertemuanku dengannya menjelang persiapan demo di depan UNS dan Balaikota masih aku ingat betul sampai sekarang, karena benar dia kuanggap ksatria. Bahkan 2 kali peluru karet yang sempat nyasar ke pantat dan punggung tidak menhentikan demoku hari berikutnya.
Jika ksatria di negeri dongeng bisa hidup bahagia setelah menikahi putri raja, kesatriaku ini malah hilang entah kemana ... Kalau Gajahmada nyata pernah muksa, Kesatriaku ini bukan mustahil mengikutinya ... meski begitu aku mencatat beberapa manteranya nyata benar kedigdayaan mantra itu ... kalau kuingat lagi saat bersorak dan berteriak:
"hanya ada satu kata: LAWAN ! !"
Jika ksatria di negeri dongeng bisa hidup bahagia setelah menikahi putri raja, kesatriaku ini malah hilang entah kemana ... Kalau Gajahmada nyata pernah muksa, Kesatriaku ini bukan mustahil mengikutinya ... meski begitu aku mencatat beberapa manteranya nyata benar kedigdayaan mantra itu ... kalau kuingat lagi saat bersorak dan berteriak:
"hanya ada satu kata: LAWAN ! !"
1) Aku masih utuh dan kata-kata belum binasa
2) Catatan subversif thn 1998 -disebabkan oleh Wiji Thukul
3) Darman
4) Jakarta simpang siur, dst.
5) Sajak-sajak bawah tanah Wiji Thukul I-III
6) Tentang sebuah gerakan
7) Tujuan kita satu ibu
8) Bunga dan tembok
9) Kemerdekaan tahun 1982
2) Catatan subversif thn 1998 -disebabkan oleh Wiji Thukul
3) Darman
4) Jakarta simpang siur, dst.
5) Sajak-sajak bawah tanah Wiji Thukul I-III
6) Tentang sebuah gerakan
7) Tujuan kita satu ibu
8) Bunga dan tembok
9) Kemerdekaan tahun 1982
AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
aku bukan artis pembuat berita
tapi memang
aku selalu kabar buruk
buat para penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat
dan berdesakan mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ia tak mati-mati
telah kubayar apa yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
:kau masih hidup!
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
18 juni 1997
CATATAN SUBVERSIF TAHUN 1998
-disebabkan oleh Wiji Thukul
kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan-ikan di sungai
kampung tercinta
karena kau adalah kemarau
maka airmata kami akan
menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit, jadi awan-awan
dan dengarlah gemuruh kami
sebagai hujan turun
mengusirmu dari sini!
DARMAN
desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak nasibnya
tetapi ia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis direguknya
Tukini setia terlanjur jadi bininya
kini Darman digantungi lima jiwa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah lelaki
perkasa, ya Darman kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam penjara
Tukini setia menangisi keperkasaannya
ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang belum lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang kolera
Tukini yang hamil buncit perutnya
nyawa di kandungan anak kelima
* * *
Jakarta simpang siur
ormas-ormas tiarap
tiap dengar berita
pasti ada aktivis ditangkap
telepon-telepon disadap
koran-koran disumbat
rakyat was-was dan pengap
diam-diam orang cari informasi
dari radio luar negeri
"jangan percaya
pada berita mass media cetak
dan elektronika asing!"
Penguasa berteriak-teriak setiap hari
nasionalismenya mirip-mirip Nazi
***Puisi ini belum diberi judul oleh Wiji Thukul
Agustus 1996
SAJAK-SAJAK BAWAH TANAH WIJI THUKUL
(1)
kekuasaan yang sewenang-wenang
membuat rakyat selalu berjaga-jaga
dan tak bisa tidur tenang
sampai mereka sendiri lupa
batas usianya tiba
dan dalam diamnya
rakyat ternyata bekerja
menyiapkan liang kuburnya
lalu mereka bersorak
ini kami siapkan untukmu tiran!
penguasa yang lalim
ketika mati tak ditangisi rakyatnya
sungguh memilukan
kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan
11 Agustus 1996
(2)
Para jendral marah-marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi.
Tapi aku tidur. Istriku yang menonton.
Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.
Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya.
Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa?
Hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya:
"Namamu di televisi..."
Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu
sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak.
Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas
berisi teh manis.
Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.
Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali
kalimat itu meluncur, "namamu di televisi..."
Ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bau kekejaman kekuasaan itu daripada aku.
12 Agustus 1996
(3)
wani
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi
menangislah sekuatmu
biar tetanggamu kanan-kiri datang
dan mengira ada pencuri masuk rumah kita
TENTANG SEBUAH GERAKAN
tadinya aku pengin bilang:
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
TUJUAN KITA SATU IBU
kutundukan kepalaku
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan dihutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu
tersebut namamu selalu
dihatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
:a luta continua
kutundukan kepalaku
kepadamu lawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
dari ujian pertama yang mengguncang
kutundukan kepalaku
kepadamu ibu-ibu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu
tapi bukan cuma anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan di adili di pengadilan
yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu
kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:
pembebasan!
kutundukan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
Juli, empat, sembilan tujuh
_______________________________________________________________
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun rumah dan mengusur tanah
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuhnya
engkau lebih suka membangun jalan dan pagar besi
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokan dibumi kami sendiri
Jika kami bunga, engkau adalah tembok itu
dan ditubuh tembok itu telah kami tebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan satu keyakinan engkau harus hancur
Dalam keyakinan kami dimanapun:
"TIRANI HARUS TUMBANG!"
_________________________________________________________________
*KEMERDEKAAN TAHUN 1982
Kemerdekaan adalah nasi
Di makan jadi tai.
* Puisi ini dibuat oleh Thukul secara spontan saat diundang baca puisi
di sebuah kampung di Solo dalam acara 17 Agustus 1982.
No comments:
Post a Comment