Thursday, December 19, 2013

Kedai Tukang Kisah, Maia

   Akhir tahun ini aku mendapatkan hadiah yang menurutku sangat berharga. Paling bernilai yang pernah aku dapatkan dari sekian hadiah tahunan yang kebanyakan aku cari sendiri. Bukan, sebenarnya alam yang memberi padaku. Dan aku akan mengingat tahun 2013 ini untuk benar-benar memahami "The Celebrations Must Be Stopped" - slogan kampanye Aids yang dulu pernah aku buat semasa aktif di organisasi kemanusiaan kampus dulu. Atau ketika dulu aku pernah membuat banner disini, mungkin aku belum pernah memahami benar apa yang aku lakukan ketika itu. Dan ini kisah sederhana Maia...
   Bagaimana seorang Maia menjadi hadiah dalam hidupku, ini adalah kisah yang singkat dan sederhana bagiku maupun bagi Maia saat ini. Aku mengenalnya akhir 2012 lalu, ketika perjalanan langkahku mempertemukanku dengannya. Dan aku masih percaya seribu cara dapat saja semesta perbuat untuk pertemuan itu demi satu tujuan hadiahku ini.
   Adalah Aran, lelaki penyedia jasa transportasi dan akomodasi bagi kebanyakan pelaut yang singgah di kota Banjarmasin. Ketika aku meminta lebih dari sekedar jasa yang ia tawarkan, Aran menawarkan dengan cuma-cuma beberapa nama yang kemudian aku memilih Maya (mengikuti pengucapannya padaku). Dari beberapa nama, semesta memilihkannya untukku. 
   Banjarmasin adalah kota baru untukku dan aku ingin mengenal banyak kebudayaan lokal dan kearifan yang mungkin bisa menjadi pelajaran hidup bagiku. Seperti kota-kota lain yang pernah aku singgahi, aku mencari dan tak pernah berhenti untuk pulang atau kembali kemasa dimana pahit dan getir telah memacu langkahku untuk terus berlari lebih kencang. Meninggalkannya jauh dibelakang. Aku meminta Aran untuk menemaniku dan seorang lain yang mau menemaniku bahkan selarut di ranjang tempat tidurku nanti malam. Demi dendam. Dan Maia mengiyakan maksudku.
   Ketika kami bertemu tak banyak dia bicara. Diam. Begitu Aran meninggalkan kami di sebuah surau kecil, barulah beberapa kalimat keluar dari mulut kecilnya. Seusai Asar, Maia memilihkan Martapura untuk aku kunjungi sore ini. Tentang intan yang ditanam Sultan Suriansyah (Raja pertama Banjarmasin yang bergelar Sultan) di empat penjuru arah kerajaan untuk melindungi ancaman bahaya teluh, tentang pulau yang diberi nama perahu karena tadinya memang perahu perompak yang diinjak sang raja dengan sebelah kakinya dan terbalik menjadi pulau sekarang ini, tentang kisah-kisah sesepuh kerajaan yang berdiam jauh di hulu Amuntai untuk melindungi kerajaan Banjarmasin....semua mengalir menemani kebersamaan kami dan kemudian aku mengenalnya sebagai penyampai sejarah, tukang berkisah.
   Dan yang ingin aku tuliskan hanya satu kisah, tentangnya. Tentang Maia. Selepas maghrib kisah tentangnya dimulai ketika senja masih terpantul dari raut wajahnya, aku mengenal betul sketsa wajah ini. Sketsa pedih, layu, ratap...berujung pilu yang aku pun harus menelan beberapa kali liurku sendiri namun tak juga melenyapkan sesak panas di relung-relung dada. Karena akupun mengalaminya.
Maia lahir di keluarga religius kebanyakan di kota ini, tak kurang norma dan agama mendidiknya ketika kecil dulu, tetapi pilihannya salah. Maia meninggalkan semua demi kesenangan dan harta benda meskipun masih sangat muda benar, dia memilih berteman dengan gemerlap dunia. Sampai saat dia bercerita dengan sketsanya yang sebagian sketsaku pula senja ini.
   Aku memahami getirnya sebagai satu harapan. Maia telah mengetahui benar saat ini dia salah, baginya tentu saja ada harapan untuk tidak selamanya hidup dalam nafas getir. Sekecil apapun harapan itu, yang terpenting adalah bahwa ia ada dan bersemayam dalam hatinya. Surau tempat asarku tadi sore adalah penenang jiwanya, adalah masa kecilnya, adalah pelariannya saat ini. Maia bercerita hidupnya sekarang dengan air mata, dan mengisahkan surau kecil itu dengan senyum hangat lembut. Ia ingin memeluk lagi ajaran masa kecilnya dulu,  meskipun aku tidak memahami benar senyumnya, setidaknya aku merasai akupun inginkan yang sama untukku.
    Airmatanya kembali menggenang ketika aku menggantikannya berkisah. Tentangku.
   Hari itu berakhir menjelang subuh dan kami terpisah antara kisah kami masing-masing, dalam satu hati yang memahami bahwa masih ada senyum dalam setiap harapan.

                     *ilustrated from erit95.wordpress.com

   Disurau yang sama aku berniat salat asar, sudah hampir setahun yang lalu aku bertemu Maia disini. Hari ini aku ingin menunggunya disini selepas asar nanti. Belum sempat aku menghidupkan ponsel setelah salat, suara lembut menyebut namaku. Suara yang tadinya aku harap menyambut panggilan ponselku. 
   Maia melipat mukena yang telah selesai ia pakai setiap asar di surau ini, seperti ingin menggantikan setahun yang lalu ketika aku asar sendiri matanya sembab, sepertinya masih menggenang airmata disana. Dia makmum ku barusan dan aku imam yang tidak mengetahui bermakmum dalam salat.

   Hadiah ini begitu indah Gusti, aku masih dapat merasakan kebahagian orang lain..Terimakasih.

   Kini aku mengenal Maia tukang berkisah di kedai kopi sederhana miliknya, yang bahkan ia bayar sewa tempatnya setiap minggu padaku, tidak pernah telat atau kurang. Ia berkerudung. Dan aku masih saja menikmati airmata ketika menuliskan ini.

10 comments:

  1. wow ... rasanya ceritanya terlalu singkat Hiu walau sudah banyak kalimat yg kamu tulis di atas

    nek ngomong soal pahit, getir lan banyu mata rasane akeh wong sing ngalami Hiu, mung bedane kowe iso bebas crito saksenengmu ning kene, aku gak iso, duh malah mrebes mili aku saiki

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Ell..kalo nulis banyak2 aku suka miss spell trus ya ga bisa nyambung ngalir gitu...

      Sopo wae jane iso/entuk crito bebas opo wae, yo mung kadang ati sing ora tekan ya Ell...meneh sa perangan uwong kadang nek meh crito seneng sing ngiro ngko gek gek piye...
      yen neng kene ga iso bebas crito kan yo isih ana nggon liane Ell... :D

      eh iyo Salam kagem Mister Meyer...

      Delete
    2. he eh Hiu, jenenge uwong yo , beda beda, nggon liyane endi maksute ? :)

      nek aku crita kerepe ning bojoku Hiu, aman, ning kadang yo butuh crita Karo uwong sing isa ngomong nganggo basa ibu, iku sing nganti saiki Rada kangelan kanggoku Hiu, durung nemu, dadine yo isane mbrebes mili wae wes hihihi

      maturnuwun salame yo, mengko tak sampekno, mestine bakalan takon deweke about Solo Boy :D

      Delete
    3. crito wae ning layang elektronik...meh crito opo wae kan iso. menowone kanggone ell nyaman
      mister ii mesti sibuk terus yoo, aku seneng ii mben pertama kontak meneh kae deweknen isih kelingan soloboy qkqkqkqk...

      Delete
    4. wah bojoku ora sibuk terus lho Hiu, anane malah mrono mrene wong loro terus hahahahha :)
      iki dewek ke linggeh ning samndingku, biasa ngadep Laptop Karo kompi dewe dewe :D

      Delete
  2. btw, enthuk salam balek soko bojkoke Hiu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. :) great..Hello Mister....I hope I could seeing both of you...one day in wesser's sunset... :)

      Delete
    2. wah .. gak bakalan pengen muleh muleh kowe Hiu nek wes reti sunset ning kali Weser kene :)

      Delete
  3. Hiu, ada yg curhat di blogku nih, mau kasih pendapat nggak ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh baru baca, yang 'surga dibawah kaki ibu' itu kan ya?
      ga berani kasih pendapat Ell, berat banget kayanya buat dia...hiu ga bisa bayangin gimana kalo diposisi seperti itu. Sementara buat hiu Ibuk itu segalanya di dunia ini....semua yang hiu lakuin sekarang untuk kebahagian beliau...Beliau yang nyuruh hiu pergi melaut... :)
      kalo harus ngebayangin ibuk yang dicerita itu susah banget.

      Delete