Tuesday, September 25, 2007

Happy go Lucky !

Kata Michelle kamu akan mendapat banyak keberuntungan (lucky) jika kamu melakukan pekerjaan atau menyelesaikan masalah (go) dengan senang (happy).
Begitu kira-kira advice yang aku dapat kemaren sore, diantara cappucino yang mengaliri suasana hangat kami. Seperti percakapan percakapan sebelumnya, dia selalu memberikan satu point untuk setiap masalah yang aku obrolkan. Dan kali ini seperti kali - kali yang laen aku mendapat titik terang untuk menyelesaikan masalah yang aku hadapi. Aaaah ... Michelle
Aku melihat Michelle semakin dewasa, meskipun umurnya baru 20 tahun tapi dia menangani hampir semua bussiness di sini (baca : Indonesia). Dan jujur kedewasaannya menambah cantik paras wajah dan sexy tubuhnya, seperti ada inner beauty kalo model-model kacangan itu bilang.
Aku berharap dia akan tinggal lebih lama kali ini. Dan semoga dia senang dengan rumah yang aku siapkan untuknya disini.
Malam itu kami habiskan mencari tempat bilyard, sepertinya tidak ada yang buka selama puasa ini. Akhirnya kami putuskan untuk kembali ke pemuda.

Monday, September 24, 2007

Apa kabar Ayah ?

Pada hari minggu ku turut ayah kekota
Naik delman istimewa kududuk dimuka
Duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja,
mengedarai kuda supaya baik jalannya
duk dik dak dik duk dik dak dik duk
suara sepatu kuda!

Aku mengingat sebuah desa kecil di tepi sungai di Boyolali sana. Dulu ketika mengenal lagu ini pertama kali sering aku mengkhayalkan minggu pagi nan indah itu. Aku merekam lagu itu dengan jernih seperti yang dinyanyikan padaku ketika kecil dulu..Tapi sampai sekarang ini aku menulis, ingatanku tidak merekam kejadian minggu pagi dalam lagu itu benar benar terjadi dan menjadi sejarah dalam hidupku. Ayah tetaplah ayah yang tidak bisa kita pilih siapa ? hormatku padanya tidaklah berkurang sedikitpun hanya karena tulisan ini.
Dan pada gilirannya anakku pun tak memiliki hak sama sekali untuk memilih siapa ayahnya. Maka karena itulah aku mencari-cari pilihan yang dimiliki ayah terhadap anak laki-lakinya...
... -tulisan ini terhenti cukup lama- ... dan ternyata akupun tidak memiliki banyak pilihan kecuali memberikan yang terbaik untuknya.
Dan aku pun meyakini apa yang aku peroleh sampai sekarang ini, pastilah yang terbaik dari seorang ayah . . . aku rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi anak laki-laki.

Tuesday, September 18, 2007

Childhood . . . won't leave any adult.

Gambar ini saya ambil dua hari yang lalu. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, tapi ketika berada disana seolah saya kembali ke 20 tahun yang lalu.
Hasan yang lebih dekat ke kamera, sedangkan yang di sana itu Deny. Keduanya sebenarnya tidak benar-benar memancing, mereka hanya menghabiskan waktu saja. Ikan yang mereka dapat hanya beberapa, itu juga ukuran kelas teri. Tetapi ketika melihat tawa dan girang mereka ketika mendapatkannya, kalian akan tahu kenapa aku memilih judul itu.
Kami bercakap lumayan lama, dan cukup bagiku untuk mengetahui satu hal. Saat itu tidak satupun diantaranya memikirkan kehidupan ketika dewasa nanti. . . . dan aku inginkan itu.
Tanpa bermaksud untuk meng-exploitasi kehidupan mereka, gambar ini aku posting. Semoga mereka tidak marah saat dewasa mereka tau tulisan ini. Meskipun aku telah meminta ijin secara lisan, pun mereka mengiyakan, tapi tetap aku berharap mereka tidak marah.
Sebaiknya aku memberikan sesuatu yang mungkin dapat mereka pahami ketika dewasa nanti. Semoga .. ..

It's a bitter wine you serv

when your lies enough to pay a whole life

Noone really think who they are

let their childhood be true how adult to be

It's a fish behind a leave

why don't you see trough ?

I'm lonely to know where I'm supposed to be

Did they know who they will be ?

It's hard to an answer when you're sixty three



Wednesday, September 5, 2007

Pak Abdul Jalil

Chapter 2
Sudah seharian aku di pos ini tapi pelanggan sepi sekali. Apa yang harus aku jadikan alasan untuk pertanyaan Pon. Duh Gusti sampai kapan negaraku ini kacau balau balau..balau. Pak Handoyo yang biasa langganan ojek setiap berangkat dan pulang dari sekolah SD yang dikepalainya sekarang memilih naek angkdes, lagi ngirit begitu katanya setiap kali kutawarkan jasa. Bantuan Dana untuk sekolah terpecil tidak membuat lelaki tua itu tergoda. Meskipun terbilang angkanya cukup besar, dia tidak berniat membeli mobil atau sepeda motor sekalipun. Yang membuat heran justru angka itu menggoda orang-orang berseragam untuk sering berkunjung kerumahnya, entah dengan maksud apa. Yang jelas dana itu dikucurkan langsung dari pemerintah pusat ke setiap sekolah, jadi tidak melalui kadinas - kadinas terkait. Kebijakan pemerintah itu berakibat langsung ka Pak Handoyo. Istrinya lebih sering membeli gula dan teh untuk tamu berseragamnya. Pengeluaranya jelas bertambah. Sepertinya pemerintah sedang tegas mengganyang koruptor, tapi ditingkatan paling bawah, koruptor lebih ganas lagi mengganyang. Kacau balau, seperti rambut Pon setiap bangun tidur.
"Assalamualaikum warohmatullah wabarokhah... " seorang laki-laki setengah baya berpakaian seadanya sedikit kusut memberi salam dengan sopan, seperti kebanyakan orang dari 'wetan'.
"Waalaikum salamm ... " Karena tak ada lagi orang lain di Pos Ojek, aku jawab salam itu.
"Ohh bapak.. gimana pak jadi nyari kontrakannya ?"
"Iya, bisa minta tolong diantar sekarang mas ?" tanyanya sopan.
"Mari - mari pak. Tolong helmetnya dikenakan ya pak.." Aku segerakan menyilakan dia naik motor bebekku.
"Ada ga mas rumah yang ingin di kontrakkan?"
"Ada sih ada pak, cuma nanti nanya saja langsung ke pemiliknya. Sebenarnya rumahnya mau dijual tapi karena ga laku laku, jadi di kontrakkan." Setengah berteriak aku mengalahkan suara deru motor.
"Ya sudah kita kesana, tolong nanti saya dibantu ya mas"
"Beres pak !"
Kalau dilihat dari cara bicaranya, bapak ini sepertinya orang terpelajar. Tapi cara berpakainnya sangat sederhana. Aku sempat ragu saat membuat janji dengannya, tapi akhirnya kuputuskan untuk mengantarnya. Kesopanan dan cara bicaranya mengalahkan keraguanku. Menjadi tukang ojek jaman sekarang memang harus hati-hati, tidak pernah kusangkal pesan Pon setiap pagi. Setiap pelanggan baru ataupun lama harus selalu diwaspadai. Aku memilih jalan lebar memutari kampung, karena jalan itu lebih sering dilewati orang.
Tak berapa jauh kami memasuki pekarangan rumah Pak Kuwu. Aku bermaksud menyampaikan maksud pelangganku ini, sekalian melapor. Dan kebetulan juga memang rumah yang aku maksud adalah rumah orang tuanya Pak Kuwu.
Sambutan hangat diberikan kepada Pak Abdul Jalil oleh Pak Kuwu. Namanya baru aku ketahui setelah percakapan kami bertiga. Pak Abdul Jalil sepertinya tidak memiliki waktu untuk berlama-lama, beliau segera berpamit ketika dirasa cukup dan minta diantarkan ke rumah yang akan ia sewa.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjangkau rumah Mbah Rusli. Rumahnya yang megah menggambarkan kejayaan masalalunya. Bagaimana tidak hampir seluruh perkebunan teh yang sekarang berubah menjadi villa dan motel untuk orang kota dulunya dimiliki Mbah Rusli secara turun temurun. Aku dapati Mbah Rusli sdang ngaso di teras samping rumahnya, wah kebetulan beliau ada.
"Assalamualaikumm.."
"Waalaikum salam .."
Segera aku sambut tanganya untuk memberi sungkem hangat. Pak Abdul segera mengikuti berjabat tangan dengan beliau.
"Ada angin apa sore-sore kemari ?" Mbah Rusli mengutarakan rasa penasarannya sambil menyilakan kami duduk di dipan bambu satunya.
"Sebelumnya perkenalkan, ini namanya Pak Abdul Jalil. Beliau berniat untuk menyewa rumah Mbah yang di pinggir desa. Katanya mau di kontrakkan Mbah ?"
"Ohh iya iya, begitu mari. Memangnya nak Abdul sudah melihat rumahnya ? rumah itu sudah lama tidak diurus, sebenarnya niatnya mau dijual" beliau berhenti sejenak untuk menghisap tembakau lintingnya.
"Kalau mau sekalian saja dibeli, tidak minta banyak ko.."
"Maaf pak, sebenarnya saya tinggal sifatnya hanya sementara. Tapi jika memang nanti saya tinggali cocok kenapa tidak. Mungkin bisa saya beli Pak."
Begitulah kami teruskan pembicaraan itu sampai hampir menjelang maghrib, kemudian Pak Abdul melanjutkan untuk melihat lokasi rumah. Sepertinya dia tidak berkeberatan tinggal dirumah sederhana itu, terkesan memang dia sedang buru-buru untuk menempati rumah tersebut. Bahkan dia berencana besok akan segera membersihkan rumah dan segera pula dia akan tempati. Pak Abdul meminta saya untuk bantu-bantu bersihkan rumah sewa itu. Dengan imbalan yang dia janjikan tanpa ragu akupun mengiyakannya. Hari ini saja aku diberi ongkos ojek lebih. Seratus ribu untuk jasa ojek saja memang berlebih, tapi kemudian aku merasa pantas dengan jasa mencarikan rumah kontrakan dengan sukses.
Tidak ada yang mengkhawatirkan aku mengenai laki-laki pendatang baru itu meskipun Pon memperingatkanku agar hati-hati.

bersambung...

Saturday, September 1, 2007

Kopi pagi Pon

Chapter 1
"Pon... aku nanti sore ndak langsung pulang kerumah. Setelah ngojek aku rencana mau ngantar orang nyari kontrakan."
"Nganter siapa to pak..?"
"Ya ngantar langganan Pon... mau ngantar siapa lagi ?"
"Langganan kan punya nama, Mbak Siti.., Bu Minah.., Mbak Sri.., Mbak ...."
"Haaaah sudah sudah! kamu itu bawaannya curiga terus"
Kalau aku ladeni istriku itu ngoceh, bisa-bisa rejeki pagi ini melayang. Segera kusambar helmet 'cakil' hadiah ketika aku berhasil memberi uang muka kesebuah dealer kecil dekat kecamatan untuk sebuah sepedamotor bebek tahun 2000. Sebuah helmet, jaket dan jam dinding sepertinya sangat murah sekali mengingat hasil penjualan merek bebekku itu mencapai volume 1.791.643 unit pada 10 bulan terakhir ini saja. Sepertinya motor bebekku itu dibeli banyak orang bukan karena hadiahnya, begitulah kira-kira aku memutuskan untuk mengkreditnya sebagai modal usaha ngojek. Motor harus berkualitas diatas rata-rata karena memang aplikasi untuk harian dengan beban yang memiliki tingkat varian tinggi. Sudah begitu harus memiliki preforma yang mantab serta penampilan yang trendy untuk narik pelanggan.
Sepertinya kopi bikinan Pon istriku itu dicampuri jampi-jampi, setiap habis satu gelas meminumnya, isi kepalaku kadang melayang dan ngelantur ga karuan.
"Pon ! aku berangkat...!"
"Nanti sore mau nganter siapa to pak ?" Tergopoh-gopoh dia keluar dari dapurnya.
Siapa ya nama bapak yang kemaren itu ? aku tidak memiliki jawaban untuk istriku.
"Eee..warga baru, katanya mau nyari kontrakan rumah di desa kita !" Aku mencoba jujur.
"Ya sudah, hati-hati kerjanya, jaman sekarang banyak begal dan rampok yang nekat"
"Wis aku berangkat dulu" Aku tinggalkan Pon dengan wajah tersenyum cemas seperti pagi kemarin dan pagi pagi sebelumnya, segera kutarik gas motor menuju pangkalan ojek di ujung desa.
Aku mendengar pesan istriku itu setiap pagi. Hampir tidak ada pesan lain kecuali tentang kejahatan yang terjadi di negeri ini. Entahlah .. jampi-jampi kopi Pon ternyata sudah habis atau isi kepalaku yang sudah bosan mereview presiden negeriku ini.
bersambung ...